Kamis, 25 Oktober 2007

Yang Tertindas, yang Terbuang


Selasa, 10 Oktober 2006

Oleh: Edy Burmansyah*)
Dari mana datangnya orang miskin? Seorang teman memberi jawaban beberapa hari lalu: dari keterasingan dan ketidak berdayaan, dari pelbagai hal yang tidak miliki orang kaya. Suatu malam di awal Juli 1997, Sunarti, gantung diri di umurnya yang belum lagi genap 39 tahun, di dalam rumah kardus yang dibangunnya di kolong jembatan Ampera yang membelah Kota Palembang.
Pedagang asongan itu, mengakhir hidupnya setelah pada siang sebelumnya petugas trantib menangkapnya ketika sedang berjualan di perempatan jalan depan International Plaza —karena dianggap melanggar pemandangan dan menggangu ketertiban. Perempuan setengah baya itu berontak—ia berusaha melawan tangan-tangan kekar petugas, tapi dia tak berdaya. Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk dapat ia patahkan.
Sunarti pasrah ketika barang daganganya di obrak-abrik petugas lalu di lempar ke dalam parit pinggir jalan. Sunarti tak mampu melawan, dia cumalah perempuan yang berdaya dan tak bertenaga. Sunarti menangis. Sunarti frustasi. Sunarti nekat menghadap Tuhan dengan caranya—dia mati gantung diri. Ke esoakan harinya, Koran-koran menulis; Seperti biasa, selepas sholat subuh, selepas mengantar suaminya—yang tak punya kaki akibat penyakit menderita kusta—pergi mengemis di jembatan penyeberangan di dekat International Plaza .
Selepas menyiapkan karung dan tongakat pengukit sampah untuk anak tunggalnya yang baru berumur 8 tahun berangkat mencari sampah sebagai pemulung jalanan. Dengan kotak rokok kecil yang di gantung didada Sunarti bersiap berdagang di perempatan jalan depan plaza itu. Sebuah rutinitas yang biasa, tiada ada gejolak, tiada ada yang aneh, tidak ada pesan, semua berjalan normal.
Tapi siapa bisa menduga bahwa hari itu sebenarnya hari terakhir buat Sunarti menikmati penderitaanya di dunia sebagai manusia yang tersisih dan terbuang. Waktu belum menunjukan pukul 12.00 siang, saat tiba-tiba satu regu petugas trantib berhamburan keluar dari truk mengejar para pedangan asongan di perempatan itu, yang tunggang langang menyelematkan diri. Sunarti ada diantara mereka, ia berlari kencang, berusaha menlepaskan diri kejaran para petugas, tapi sial para petugas trantib itu terlalu cepat dan tak terlalu gampang untuk dapat dihindari Sunarti, dan kemudian…sepatu laras petugas itu menghantam punggung Sunarti, perempuan itu tersungkur, kotak daganganya terlepas, dan petugas menghamburkan semua isinya. Sunarti menangis.
Dari sisi yang lain—diatas jembatan penyeberangan, dengan mata yang berlinang air mata Sunarti melihat dengan jelas, Amran—suaminya yang tak mampu berjalan, diangkut petugas trantib menuju ke dalam truk. Uang recehan dari hasilnya mengemis berjatuhan dari atas jembatan, beberapa anak kecil nekat memungutnya dari tengah jalan, meski resiko ditabrak mobil yang melajuh kencang… Sunarti menguras air matanya, Sunarti frustasi, Sunarti putus asa, ia kecewa. Dan saat malam resah datang, dengan perasaan takut menghadapi kematian, namun tak berani lagi menjadi hidup. Perempuan yang tak pernah mengecap bangkus sekolah itu mengikatkan seutas kain sarung di tempat tidurnya—Sunarti gantung diri. Sunarti mati, tapi tak berarti persoalan selesai sampai disitu.
Jenazahnya tak dapat segera di kubur, pihak pemakam menolak, perempuan itu tak mempunyai surat keterangan dari RT/RW atau Lurah setempat, dia tak terdaftar sebagai warga, maka selama dua hari itu jenazah Sunarti mengantung—tak di bumi, tak juga di alam lain. Tapi beruntung (kalau ini ingin disebut untung) Lurah 7 ulu—kelurahan dimana Sunarti tinggal—datang dan memberi surat keterangan. Namun sekali lagi ini belum cukup, Amran—suami sunarti yang hanya mengecap bangkus SD sampai kelas empat, tak memiliki biaya untuk mengurus biaya pemakaman, beruntung (ini memang untung) ada salah seorang wartawan yang sedang meliput tentang kematian Sunarti, bersedia menangung seluruh biaya pemakaman. Sunarti dimakamkan tapi dalam liang lahat itu Sunarti menyesali hidupnya yang lalu. Kalau Sunarti mempercayai adanya renkarnasi, mungkin ia tak akan pernah bersedia kembali ke negeri ini.
Di sini, di republik ini, Sunarti bukan saja terabaikan, namun juga terasing. Ia tak mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk), ia tak tercatat sebagai warga negara, ia warga negara illegal di negeri tempat ia lahir, besar, dan hingga akhirnya lehernya terjerat dan nyawa melesat, sebab Sunarti tak punya KTP karena Sunarti tak punya biaya untuk membuat KTP. Bagi orang semacam Sunarti KTP adalah barang mahal, dan KTP tak pernah ada yang gratis, meski dalam banyak kampanye menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) parta-partai dan aktor-aktor politik berjanji akan menyediakan KTP gratis bila partainya menang dan ia terpilih menjadi pemimpin.
Tapi di republik ini selalu ada cara bagaimana memperdaya orang banyak: Bohong. Barangkali sebab itu juga selama kemiskinan menyelimuti hidupnya, Sunarti tak pernah menerima dana Jaring Pengaman Sosial (JPS)—program yang dibuat pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Tapi berapa banyak orang seperti ini—yang tak punya KTP dan tak dianggap sebagai tanggung jawab negara karena mereka tak tercatat sebagai warga negara. Juga sekarang ini, ketika banyak orang miskin tak terdaftar sebagai penerima dana batuan langsung (BLT) kompensasi BBM, hanya gara-gara tak punya KTP. KTP, ia semacam bentuk indentitas, namun bagi orang kecil agaknya KTP sering menjadi sebuah masalah besar. Tak gampang bagi orang kecil itu untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara – sebuah indentitas.
Mereka acapkali tak mampu mengatakan “Saya orang Indonesia , saya orang miskin, saya anak terlantar, di tanggung oleh negara”. Tapi negara mana yang dapat mereka klaim ketika mereka sendiri tak bisa membukti bahwa mereka adalah warga dari sebuah negara, walaupun mereka sebenarnya terlahir dan besar di sebuah wilayah yang tersambung dari Sabang sampai Marauke, sebuah tanah yang disebut Indonesia . Tapi tidak. Indonesia tidak pernah dirancang untuk mengasingkan darah yang mengalir di dalam tubuh setiap orang lahir diatasnya. Indonesia bukan yang eksklusif. Indonesia adalah cita-cita bersama, dari rangkaian tiap manusia yang berada didalamnya. “Tapi Indonesia tak pernah mengakui kami, Indonesia terlalu angkuh, terlalu sombong untuk mengatakan bahwa orang yang hidupnya melarat itu adalah warga negara saya. ” kata Sunarti suatu kali dalam hidupnya.
Bagi orang semacam Sunarti, pada akhirnya indentitas memang menjadi barang mewah. Di Indonesia tak semua orang bisa menyebut diri warga negara. Indonesia tak membuat orang bangga. Indonesia cuma milik orang ber-uang. Dan sebab itu ada saja yang ingin bubar dari Indonesia, tapi Indonesia selalu datang mengetuk. Kita tak bisa bersembunyi darinya, meskipun terkadang tertindas dan terbuang. ***
*)Edy Burmansyah, Direktur Executive Center Study for Public Policy (CSPP).

Tidak ada komentar: