Jumat, 06 Juni 2008

“ Syak Wasangka “


Oleh : Edy Burmansyah
Anggota Badan Pekerja Global Human Right Action
Saya tidak tahu persis kapan mulanya syak wasangka hadir dalam kehidupan kita, barangkali ia berawal dari sebuah celetukan aneh sastrawan Oscar Wilde “Sebagian besar orang adalah orang lain”. Jika orang lain adalah yang tak serupa dengan kita, yang kulit lebih putih, atau bicara begitu membingungkan, maka ia adalah si pendang, ia, orang asing (I’etranger), dan setiap si pendang selalu membawa kekacauan, juga seringkali bermaksud menaklukan. Agaknya sebab itu kita acapkali menaruh curiga kepadanya.

Begitu juga, Marsah, gadis berhidung macung, bermata biru, dan belum lagi genap berumur 21 tahun, ia yang menyukai perjalanan jauh, berangkang dari pinggiran kota Stockhom, Swedia menuju Thailand, kemudian Malaysia, lalu tampir sebentar ke Lagoi dari Singapura, untuk selanjutnya meneruskan petualanganya ke Batam, karena didorong minatnya mengenal kebudayaan asia. “Tahun depan saya akan mengambil study kebudayaan asia di salah satu universitas di Amerika, sebab itu sebelum kesana, saya ingin mengenal dahulu asia ” katanya suatu kali ketika kami untuk pertamakali bertemu.

Tapi ternyata tidak mudah bagi Marsah untuk mengenal kebudayaan negeri timur jauh ini, tak mudah baginya untuk hidup membaur dengan masyarakat, dimana ia bisa tinggal di rumah penduduk, bercakap-cakap di suatu petang pada sebuah kedai kopi sekedar untuk menghangatkan membunuh waktu, ia hadir bukan sebagai pendatang, bukan sebagai yang asing, tapi sebagai sesame; manusia.

Pada suatu malam yang tiada gelora, gadis dengan karil (ransel) besar itu, berkunjung ke tempat saya tinggal sejak lebih dari dua tahun lalu—sebuah kamar kost ukur 2x3 dibilangan Batam Center—rencananya malam itu kami ingin berbincang-bincang tentang budaya dan kebudayaan, juga disisipi menonton film Sicko, garapan sutradara Michale Moore, namun sebelum merangkak dalam bayangan, pemilik tempat tinggal memanggil saya dan teman satu kamar saya, ia meminta agar si asing tidak datang untuk menginap dan membatasi jam kunjungan hanya sampai pukul 12 malam, katanya “ masyarakat sekitar punya cara padangan tersendiri terhadap tamu asing”. Sebab itu rekanya saya segera megantar Marsah pulang ke penginapan-nya.

Saya tidak tahu pasti syak wasangka seperti apa yang dikenakan masyarakat pada si pendatang ini, mungkin karena ia adalah “barat” dan kita adalah “timur”. Barat sebagaimana digambarkan oleh sebagian orang adalah negeri yang mengagungkan kebebasan, sementara timur adalah tempat dimana ketertiban dan kedisplinan berbaris lurus, barangkali sebab itu ketika dia dating selalu ada yang menapik, dan kita tiba-tiba cemas akan chaos. Lalu barat dan timur letakan berhadap-hadapan dalam posisi oposisi biner, yang satu adalah musuh yang lain. Dan Marsah yang rambutnya kemerah-merahan itu diringkas dalam identitas tunggal: Barat.

Identitas kini menjadi sesuatu yang rumit, dia yang barat harus ditapik, bukan saja karea wajahnya berbeda dengan kita yang timur, tapi karena kita ternyata dibelenggu oleh Samuel P Huntington dengan tesisi “benturan peradabnya”. Tesis yang mengkotak-kotakan identitas. Dan entah bagaimana masing-masing identitas itu kemudian saling bermusuhan satu sama lain. Padanganan Samuel P Huntington itu pada akhiornya memang mereduksi manusia menjadi satu dimensi, “one dimension man” dalam bahasa Herbet Marcuse.

Reduksioisme ala Huntington ini pada galibnya mengabaikan identitas yang terwujud dalam prilaku menapik atau menihilkan sama sekali pengaruh rasa berbagi identitas apapun dengan orang lain, menihilkan apa yang kita beri nilai penting dan cara kita berprilaku. Paham ini yang kemudian banyak dianut dalam teori ekonomi neo klasik mengandaikan bahwa dalam menentukan arah, tujuan dan prioritasnya, seseorang seolah-olah tidak memiliki atau tidak memberi perhatian pada rasa identitas bersama dengan orang lain selain dirinya sendiri, manusia dianggap mampu sepenuhnya berdiri sendiri, padahal manusia sebagaimana dikatakan penyair Inggris dari abad ke-17, Jhon Donne “Tak seorangpun sepenuhnya berdiri laksana suatu pulau terpisah”. Ia dengan demikian memandang bahwa tidak ada identitas tunggal pada manusia, karena bisa hidup dengan ketunggalannya.

Amartya Sen, peraih nobel ekonomi dalam padandangannya yang begitu mengagumkan yang dimuat pada bukunya kekerasan dan ilusi tentang identitas, mengatakan “Sesungguhnya tidak ada identitas tunggal, setiap manusia memiliki identitas majemuk”. Dalam berbagai kelompok, kata sen, kita menjadi bagian kelompok tersebut. Seorang yang sama dapat sekaligus menjadi seorang warga negera Amerika, asal karibia, keturunan Afrika, pemeluk Kristen, seorang liberal, seorang perempuan, seorang vegetarian, seorang novelis, seorang pencinta lingkungan, seorang yang meyakini benar bahwa ada mahluk pintar diangkasa luat yang perlu diajak berkomunikasi (sebisa mungkin dalam bahasa inggris), serta seorang bagian dari umat manusia.

Yang dimaksud Sen bahwa identitas secara mutlak bersifat majemuk, dan bahwa taraf kepentingan suatu identitas tidak harus meniadakan kepentingan identitas yang lain, dengan kata lain pentingnya suatu identitas akan bergantung pada konteks sosialnya. Identitas seseorang sebagai penulis akan lebih penting dibandingkan identitasnya sebagai anggota partai ketika menghadiri acara pertemuan sastrawan. Begitu juga sebaliknya, identitasnya sebagai anggota partai sangat penting saat menghadiri kampanye politik.

Tentang soal ini saya punya cerita menarik di akhir 1997, ketika orde baru diujung senja, dan politik yang dibelenggu hanya hidup lima tahun sekali, saat kampaye pemilu orang-orang yang bergairah, barangkali tepatnya eforia pada politik hanya saat Pemilu digelar, mengidentifikasi diri dalam identitas tunggal; Aku adalah simpatisan partai A, sebab itu bagiku partai A yang paling baik, yang lain hanya pecundang. Ketika arak-arakan pawai kampanye partai A dijalanan berjumpa dengan arak-arakan partai B, maka meledaklah kerusuhan. Bermula dari saling ejek tentang steriotipe masing-masing. Simpatisan partai B menganggap partai A adalah partai kelas menengah ke bawah yang simpatisannya mayoritas orang miskin dari perkampungan kumuh yang mengemari aksi kekerasan. Simpatisan partai A menggap partai B adalah partai yang korup ketika berkuasa dan suka melakukan kecurangan dalam pemilu. Steriotipe ini bukanlah hal mendasar pada terjadinya kerusuhan, penyebab paling mendasar adalah pengkotak-kotakan identitas masing-masing. Ia yang berasal dari partai lain bukan saha berbeda tapi juga musuh yang mesti diperangi. Padahal seringkali si Abuh yang simpasitas partai A dan si Butet yang simpatisan partai B adalah sama-sama umat Islam, dan Islam melarang umatnya melakukan kekerasan, terlebih terhadap sesama umat, karena sesama muslim bersaudara.

Sintom yang tidak sehat ini, gakanya juga akrena masing-masing mengklaim kebenaran dan tenggelam dalam totalitas—sesuatu yang berpangkal dari ego sebagi pusatnya—karena ia selalu bertolak dari “Aku” dan kembali pada “Aku”. Ia dengan demikian seakan-akan melakukan alienisasi—memisahkan diri dengan yang lain. pemikir keutamaan Prancis modern, Jean Paul Sarte menyebut kondisi ini dengan “kesadaran menidak”

Pada kenyataanya kesadaran menidak ini selalu mendatangkan kecemasan. Setiap kecemasan adalah keterasingan kebebasan, dan keterasingan hanya dapat diatasi dengan membentuk group. Dengan group juga, kita mengatasi serialitas yang selalu ditandai “Keberlainan”, sebab setiap orang adalah lain bagi yang lain.

Emmanuel Levinas mengistilakan orang lain denga wajah: wajah telanjang ( Le Visage Nu). Untuk dapat menjumpai dia (orang lain/wajah) kata Levinas, saya harus keluar dari imanensi saya…saya tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari “Aku”. Gabriel Marcel, filsuf terkemuka Prancis lainnya menawarkan konsep kehadiran (presence). Kehadiran hanya dapat diwujudkan jika “Aku” berjumpa dengan “Engkau”. Dalam relasi “Aku-Engkau” manusia tampak sebagai sesame, dengan kata lain relasi “Aku-Engkau” mencapai taraf “Kita”. “Saya boleh memberikan hidup saya bagi sesame, tetapi saya tidak berhal untuk membuat dia menjadi keuntungan dan kegunaan saya. Relasi saya dengan sesame tidak boleh di dasarkan pada do ut des—balas jasa” dalam pengertian ini secara istimewa kehadiran terealisasi dalam bentuk cinta.

Saat Marsha bertamu ke kota ini dari negeri yang jauh, ia tidak punya syak wasangka bahwa negeri ini adalah negeri teroris, karena itu pula kewajiban etis kita seperti dihimbau Emmanuel Levinas adalah mempraktekan keadilan dan kebaikan, bukan syak wasangka. Dan kita memang sudah sejak lama tidak lagi membutuhkan mahluk Leviathan milik Thomas Hobbes. ***