Senin, 24 September 2007

bea siswa

Beasiswa Studi di Eropa - PhD Website Information SystemKoran Online KabarIndonesia menyajikan secara berkala berita-berita mengenai beasiswa yang diberikan oleh negara-negara Eropa, Australia maupun Amerika. Tertarik Klik di www.kabarindonesia. comOleh : Djoko Suryo 15-Sep-2007, 19:56:42 WIB - [www.kabarindonesia .com]http://www.kabarind onesia.com/ berita.php? pil=13&dn= 20070915193858KabarIndonesia - Tawaran untuk mendapatkan beasiswa studi di Eropa - PhD Website Information System.Apakah anda tertarik untuk bisa mendapatkan beasiswa studi di Eropa (Belgia) agar bisa meraih gelar PhD "Website Information System"? Koran Online KabarIndonesiaAnda bisa bekerja sambil kuliah di Eropa tepatnya di Belgia untuk mendapatkan gelar PhD dari Vrije Universiteit Brussel. Berita selengkapnya dalam bahasa Inggris bisa dibaca dibawah ini:Author: Geert-Jan Houben <Geert-Jan.Houben@ vub.ac.be>Subject: PhD-positions in Web Information Systems at Vrije Universiteit BrusselBody: The Vrije Universiteit Brussel is searching for candidates forPhD-positions in Web Information Systems for a number of projects funded by different organizations, ranging from the Brussels region to the EU. The candidates will work as members of the WISE research group in the Computer Science department at the Vrije Universiteit Brussel. WISE research is concentrated on advanced technology for large-scale Web information systems, with topics that include but are not limited to: Web Engineering, design methodologies for Web information systems, data transformation, adaptation, Semantic Web technology and semantic interoperability.The projects we are now hiring for differ in their specific requirements, and the participation of the new group members will depend on prior experience and skills. As an example, one project concerns variability in software-intensive product development and WISE will focus on modeling relevant aspects of configurability in a software product. Another project concerns semantic interoperability, in particular the large-scale, distributed sharing of user models for personalized Web applications. A third project concerns theory and tools for the optimization of storing and querying Semantic Web data in distributed systems.Successful candidates should possess the following knowledge and skills:- advanced information systems design & modeling- (Semantic) Web technologies and languages- good programming skills, ability to develop proof-of-concept tools- basic software engineering methods and techniquesKnowledge in one or more of the following areas will be considered a plus:- variability & configurability in software products- Semantic Web languages, e.g. RDF(S)- ontology-based reasoning techniques- adaptation & personalization- aspect-oriented software developmentWe invite candidates that are interested in these positions to contact prof.dr.ir. Geert-Jan Houben via email Geert-Jan.Houben@ vub.ac.be mentioning "Vacancies" in the subject of the email and attaching a CV with relevant details on prior education, skills and experience.

humanisme

Pembangunanisme Vs. Humanisme.
(Sebuah catatan kuliah )
Apa itu Pembangunan ? Dalam Dokumen "Marshal Plan" yang di keluarkan AS tahun 1947, Istilah "Development" menunjuk pada upaya AS untuk merekonstruksi, membangun kembali negarasekutu AS di Eropa setelah mengalami kehancuran akibat Perang Dunia II. Perspektif lain mengatakan Pembangunan sebagai usaha terencana dari negara Dunia Ketigauntuk mencapai modernisasi. Secara sederhana Pembangunan dapat direumuskan sebagai "Perubahan yang di rencanakan" - Planned Change. Konsep ini berakar dari"Ideologi of Progress", dimana manusia diatas mahluk lain di muka bumi memiliki kemampuan dan harus berkembang tanpa batas. Pembangunan dianggab akan membawadunia pada masyarakat Industri dan akan mencapai postindustrial societies yang memiliki ?perpetual wellbeing?.Program pembangunan mensyaratkan di perlukannya para Teknokrat. Disamping itu pembangunan juga menuntut adanya Efisiensi. Mengikuti tuntutan ini, lalu lahirlah"Growth Pole Theory" dan "Trickle-Down Effect", yang membawa effect kesenjangan sosial dan ekonomi merajalela. Pada akhirnya hal tersebut menjadi sumber darikegagalan pembangunan.Dalam analisanya, PBB telah menggambarkan hasil pembangunan yang terjadi di dunia pada saat ini sebagai:1. Jobless growth. mencirikan pertumbuhan yang tidak menghasilkan lapangan kerja. Angka pengangguran yang terus meningkat seiring meningkatnya investasi perusahaan raksasa. Sektor Perbankan sebagian besar hanya melayani pengusaha besar tetapi tidak mendorong ekonomi rakyat (misalnya melalui kredit Usaha Kecil maupun Kredit Mikro). Tata Ruang Wilayah yang tidak mengakomodasi sektor informal, dan sebagainya.2. Ruthless growth. Pertumbuhan yang kejam karena justru semakin menghasilkan kesenjangan antara kaya dan miskin.3. Rootless growth. Pertumbuhan yang mencerabut manusia dari budayanya. Globalisasi telah membanjiri dunia dengan ?pop culture? yang sangat berorientasi pada budaya?Barat? sementara budaya lokal dan nasional cenderung tidak berkembang bahkan ?mati?. Pembangunan Nasional yang berorientasi budaya dan gaya hidup ?kota besar?sehingga melemahkan ikatan sosial di tingkat lokal (komunitas) misalnya Mall.4. Voiceless growth. Pertumbuhan yang ?membungkam masyarakat?. Aspirasi masyarakat tidak tertampung secara baik oleh para perencana pembangunan atau bahkanoleh para wakil rakyat. RT dan RW (organisasi komunitas) tidak diberi wewenang untuk menyalurkan aspirasi warga dalam pembangunan.Aspirasi perempuan (yang kebanyakan berada di sektor domestik) paling tidak terdengar dalam pembangunan.5. Futureless growth : Pertumbuhan yang tidak punya masa depan. Pembangunan yang semakin menghancurkan sumberdaya lingkungan. Pembangunan yang tidakmenyisakan sumber-sumber dan kesempatan bagi generasi mendatang.Dalam kondisi seperti ini, munculah pertanyaan :Kegagalan pembangunan salah siapa ? Ironisnya, selama ini Kegagalan pembangunan selalu diartikan sebagai kegagalan rakyat dalam berpartisipasi atau beradaptasi dengan program pembangunan yang dibuat Pemerintah.David Korten, dalam Bukunya The Great Turning menyampaikan bahwa Dunia saat ini sedang mengidap tiga krisis mendasar yaitu: Kemiskinan, Tindak kekerasan, dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Kemiskinan tidak hanya dalam arti kondisi penghasilan rendah, tetapi lebih jauh lagi adalah penutupan sumber-sumber kesejahteraan(exclusion) sehingga mengakibatkan sekelompok orang tidak mampu menjangkau kesehatan, fasilitas pendidikan, tak mampu memperoleh hak-hak yang azasi, tidakpunya harga diri, kepercayaan diri dsb. Salah satu contoh ?Social Exclusion? yaitu terjadinya "Digital Devide".Abad ke-20 tercatat sebagai abad yang mungkin paling kejam. Diluar perang antar Negara, lebih dari 50 juta orang dibunuh secara sistematis selama 100 tahun. Di Turkimisalnya, pemerintah Ottoman membunuh lebih dari 1.5 juta orang Armenia antara th 1915-1923. Rezim Nazi membinasakan 6 juta orang Yahudi pertengahan abad silam.Mao Tse Tung membunuh 30 juta rakyatnya sendiri, sedang Rezim Soviet 20 juta. Tahun 70-an Khmer merah membantai 1,7 juta sesama bangsa Kamboja.Antara 1980-90 partai Sadam Husein (Baath) menjagal tidak kurang dari 100.000 suku Kurdi dinegaranya sendiri. Pemerintah militer Rwanda menewaskan 800.000minoritas Tutsi. Negara kita juga tercatat dalam daftar pembunuhan massal itu yakni yang terjadi antara pertengahan tahun 60-an dan th 80-an dengan jumlah 1.2 jutakorban jiwa ( sumber: Barbara Harff dalam ?National Geographic Indonesia? Januari 2006). Di Indonesia terhitung ribuan jiwa lain yang menjadi korban pembantaian bangsasendiri setelah era reformasi yaitu antara 1990-2003 dimana terjadi peristiwa kekerasan sebanyak 3.600 kali dan menyebabkan 10.700 orang tewasKekerasan bukan hanya berhubungan dengan peperangan tetapi juga bisa berupa keputusan-keputusan politik atau aturan-aturan yang menindas dan tidak adil. PeraihNobel Perdamaian 2005 asal Kenya Wangari Maathai mengatakan bahwa ada 40 juta warga Afrika terancam hidupnya karena kegagalan pemerintah menyediakan fasilitaskesehatan. Desmon Tutu mengatakan bahwa 40 juta rakyat Afrika telah meninggal karena kesehatan (Malaria, pneumonia, diare, AIDS dsb.). Ini melebihi jumlah kematiandari seluruh dunia modern lainnya dan melebihi kematian korban Perang Dunia! Jika masalah ini tidak diperbaiki sampai 2015, maka akan ada 125 juta orang Afrika akanterenggut jiwanya (Kompas, 23 Januari 2007).Tapi apakah hubungan antara pembunuhan massal itu dengan pembangunan ?.Pertumbuhan menuntut sumberdaya yang besar dan ?tak terbatas?, padahal sumber-sumber yang tersedia di planet bumi ini bersifat terbatas. Maka pembangunan sepertiitu akan selalu ditandai oleh ?perebutan sumber-sumber? , konflik, peperangan dan dominasi (penjajahan) bahkan penindasan. Maka, dekade pembangunan yang dicanangkan di seluruh dunia pada tahun 50-an (setelah PD II) ternyata tidak mengurangi tingkat ?kebiadaban? bangsa-bangsa di dunia. Pengeluaran anggaran militer sekarang sekitar $ 2 juta setiap menitnya. Di planet bumi yang ?mungil? ini sekarang tertimbun alat peledak (bom nuklir dan sejenisnya) yang bisa meledakkan bola dunia ini berkali-kali !!. Semua bangsa modern saat ini se-olah-olah tidak dapat keluar dari ?dalil primitif? yang diucapkan oleh Julius Caesar beberapa ribu tahun yang lalu :? Si vis pacem parabellum!?, kalau mau damai, bersiaplah untuk perang!. Sementara itu menurut Roosevelt ?- salah satu dari empat kebebasan dasar manusia adalah bebas dari rasa takut,maka harus ada pengurangan persenjataan di seluruh dunia sampai tahap dimana tidak ada bangsa yang dapat menghancurkan bangsa lain dengan agresi fisik Perlu dicatat bahwa peperangan pada dekade akhir-akhir ini justru lebih banyak antar golongan atau perang saudara. Tanda: ?pembangunan? yang diselenggarakan olehpemerintah telah menimbulkan kesenjangan antar golongan yang semakin dalam dan melukai rasa keadilan rakyat.Paradigma pembagunan ini salah, karena memiliki sifat dan pendekatan yang keliru. Pertama Sifat Reduksionistik pembangunan, dimana kebutuhan manusiadisederhanakan seolah hanya materi saja (one dimensional men).kedua, pembangunan bersifat Statis dan absolutis: kebutuhan manusia akan pembangunan ditentukansecara sepihak dan absolut oleh para teknokrat sebagai pemikir dan pemimpin pembangunan. serta, pembangunan bersifat sentralistik- korporatis, mengandalkan padapemerintah dan perusahaan yang kuat dan sangat bersifat terpusat.Logika pembangunan yang berorientasi pertumbuhan seringkali ?tidak mendasar? dan tidak mengatasi esensi persoalannya. Misalnya: Mengatasi kerusakan hutan,Mengatasi masalah krisis energi, Pembangunan (terutama di dunia ketiga) cenderung mengandalkan modal finansial dan teknologi yang dipinjam (dengan cara berhutang).Perlu diingat bahwa kesalahan arah pembangunan yang terjadi bukanlah karena kesalahan pembangunan ekonomi, yang salah adalah ideologinya (dasar filsafatnya) yaitupembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (bukan pada manusia).Pembangunan berorientasi pertumbuhan yang mengandung banyak kelemahan itu kini telah dianggap ketinggalan jaman oleh berbagai pihak. Ideologi pembangunan itu kinisecara sinis disebut sebagai ?developmentalism? (pembangunanisme) . Ideologi yang baru lebih banyak menggunakan istilah pemberdayaan dan menyeimbangkan aspekmaterial dan ekonomis dengan aspek-aspek sosial-budaya.Umat manusia memang sedang mengalami suatu ?paradox pembangunan? . Kita menentukan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator dari ?kemajuan manusia?, tetapi ketikapembangunan ekonomi menghasilkan barang dan jasa, gejala dehumanisasi (pengangguran, kemiskinan, peperangan) justru merebak dan kwalitas sebagian besarkehidupan merosot. Dengan mengikuti cara berpikir yang mengutamakan uang daripada kehidupan, manusia selalu berusaha memperkaya diri sambil terus menerusmenerabas batas kemampuan alam dan kemampuan sosial untuk mendukungnya.Ekonomi dunia harus ditata kembali untuk lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia: makan, pakaian, perumahan kesehatan dan pendidikan, bukan senjata, polusi,kemacetan dan kejahatan! Kita harus melihat masa depan bukan sebagai takdir, tetapi sebagai suatu pilihan, jadi kita dapat merubahnya !!.PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN: PEMBANGUNAN BERPUSAT MANUSIA (PEOPLE CENTRED DEVELOPMENT)Kritik yang gencar baik secara praktis maupun secara teoretis terhadap pembangunan sebagai suatu ?cara berpikir dan suatu ideology? saat ini bermuara pada suatuparadigam pembangunan yang baru yaitu People Centred Development. Gerakan ?People Centered Development? (PCD) menegaskan bahwa manusia membutuhkan suatupencerahan baru yang dilandasi oleh suatu nilai-nilai: cinta, kasih-sayang, dan rasa tanggungjawab yang mendalam pada kemanusiaan dan alam.Beberapa prinsip yang mendasarinya adalah: Rakyat harus diberi wewenang menguasai sumberdayanya sendiri, memperoleh akses ke informasi, punya sarana legal untukmenuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa (prinsip akuntabilitas) . Para ?penolong? pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuanasing diukur dari peningkatan kapasistas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri. Suatu ?Pembangunan? baru terjadi bila masyarakat melakukan usahapembangunannya sendiri, sehingga proses pembangunan menjadi milik masyarakat. Pembangunan tidak boleh di subkontrakkan, tanggungjawab tidak diserahkan padapihak lain. Suatu pembangunan disebut sustainable bila ia membangun apa yang sudah ada. Betapapun kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai denganmenggunakan kemampuan yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal.Forum PCD menawarkan ? Living Economies Program? untuk menggantikan pendekatan yang disebutnya sebagai ?global suicide economy? dengan ?planetary system ofliving economies?. Robertson menunjukkan beberapa persepsi dari para pemikir pembangunan ?berorientasi Pertumbuhan? dimasa lalu yang kini ditolak oleh paradigma PCD: 1. Kemakmuran adalah hasil dari penguasaan dan penindasan terhadap orang lain: manusia dicerabut dari tanahnya dan dijadikan buruh yang tergantung pada orang kayaatau yang berkuasa. Sebaliknya, PCD lebih mengemukakan keadilan ekonomi dan demokrasi melalui kebijakan yang mengutungkan produsen kecil, koperasi, dan usahayang dimiliki buruh serta komunitas2. Kemajuan dan pembangunan adalah hasil dari ekploitasi terhadap alam yang terus menerus oleh manusia (terutama yang berpengetahuan serta memiliki kekuasaan).PCD sebaliknya, menolak ide antroposentris ini (yang merupakan ajaran pada ?masa pencerahan? atau renaissance) . Sebaliknya paradigma PCD menilai tinggi budayakerohanian serta keselarasan dengan alam sebagai milik semua orang (bukan hanya ?kelompok yang berkuasa?).3. Aktivitas ekonomi masa lalu lebih menghargai ilmu dan kemampuan memahami alam secara ilmiah (untuk menguasasi alam) dan menganggap nilai-nilai individual, etikadan kejiwaan sebagai sesuatu yang tidak relevan. PCD menolak pemisahan antara ilmu ekonomi dengan ilmu moral dan menolak keyakinan bahwa ?tangan yang taknampak? akan merubah kerakusan manusia menjadi manfaat bagi masyarakat. PCD sebaliknya beranggapan bahwa pilihan-pilihan ekonomi harus melibatkantanggungjawab moral dan pasar harus menjadi alat (bukan penentu) untuk mencapai tujuan pribadi dan kebijakan publik.4. Hanya benda yang dapat dihitung (memiliki nilai) dan uang adalah ukuran yang paling sahih bagi kehidupan public. Tetapi PCD percaya bahwa nilai yang tertinggi seringtidak dapat dihitung dan diukur dengan uang - seperti kehidupan itu sendiri . Ilmu ekonomi adalah alat untuk mencapai nilai yang lebih tinggi daripada sekedar kekayaan.5. Ekonomi dunia adalah suatu system dari persaingan antar ekonomi nasional. PCD menolak kehidupan manusia ditentukan oleh kemampuannya bersaing denganekonomi bangsa lain (dalam bidang produksi, perdagangan dan jasa). Hal ini tidak ?esensial? bagi kehidupan yang bermartabat. PCD melihat ekonomi dunia yang berfungsibaik adalah yang memiliki berbagai tingkatan otonomi dan terdesentralisasi. Ekonomi tersebut diorganisasikan sedemikian rupa sehingga tiap tingkat memungkinkantingkat dibawahnya untuk dapat maju pada arah yang memberdayakan manusia dan melestarikan alam. Sistem ekonomi ini harus melibatkan keluarga dan komunitas lokal yang biasanya diabaikan oleh ekonomi modern.6. Kemajuan ekonomi terjadi dalam ?dunia laki-laki?, berbasis pada dorongan dan nilai ?kejantanan? . PCD sebaliknya, menyadari bahwa perkembangan peran wanita, anak-anak serta orang lanjut usia adalah sama pentingnya dengan laki-laki dewasa. PCD juga mengakui pentingnya peran sosial-ekonomi dari keluarga dan komunitas localdalam menciptakan kemakmuran).7. Ekonomi terpisah dari politik. Prinsip ini ditolak oleh PCD yang beranggapan bahwa setiap golongan di masyarakat memiliki kepentingan, jadi setiap pilihan di bidangekonom adalah merupakan suatu pilihan politik. Setiap pemerintah harus secara tegas merumuskan dan menentukan tekad politik ?Siapa yang akan memperolehkeuntungan dari kegiatan ekonomi dan siapa yang akan menerima dampak serta resikonya?? PCD menolak prinsip bahwa lembaga ekonomi dapat beroperasi semaunya(secara bebas) diluar kerangka pilihan politik dan social secara nasional (bahkan juga global8. Harga dari kebebasan ekonomi harus dibayar (dipertukarkan) dengan kesejehateraan sosial dan kelestarian ekologis. PCD menolak prinsip ini dan menolak kebebasanekonomi dalam bentuik ?pasar bebas? dan ?perdagangan bebas? yang dapat mematikan kebebasan (dan kehidupan) orang lain. PCD sebaliknya juga menolak peraturanyang terlalu sentralistik dari ekonomi terpimpin dan pemikiran social demokratik berupa system ekonomi campuran yang konvensional. Sebagai gantinya PCD inginmenciptakan kelembagaan yang memungkinkan semua orang mengembangkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannnya.Efisiensi ekonomi harus diartikan sebagai efisiensi untuk mengalokasikan sumber-sumber demi tercapainya tujuan social di dalam masyarakat (efectivitas pen.)Selanjutnya prioritas yang diperlukan pada tiap jenjang ekonomi untuk memajukan prinsip-prinsip PCD adalah sbb:Di jenjang ?tata kelola global?: harus dibatasi sedemikian rupa sehingga perhatian ekonomi diseimbangkan dengan prioritas kebijakan publik yang lain (keadilan,kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan dsb.) dibawah pengawasan yang demokratis dan akuntabel. Struktur tata kelola global saat ini cenderung menyerahkankebijakan ekonomi kepada lembaga Bretton Woods ? World Bank, IMF dan WTO - yang cenderung berfungsi secara rahasia diluar pengawasan akuntabilitas demokratisdan memposisikan korporat besar serta kepentingan ekonomi diatas kepentingan sosial dan lingkungan hidup. Reformasi PBB ? oleh karenanya - harus meletakkanlembaga-lembaga Bretton Woods didalam struktur utama PBB untuk berfungsi dibawah juridiksi Dewan Keamanan , Sidang Umum, dan Sekretaris Jendral.Dalam kerangka pembuatan kebijakan yang lebih transparan dan demokratis itu kebijakan global mengenai perdagangan, hutang dan investasi yang sekarang dilaksanakanoleh GATT, IMF dan WB akan dapat dipertimbangkan dalam konteks yang lebih luas dari segi sosial dan lingkungan, inilah suatu langkah fundamental menuju PCD.Di tingkat Kebijakan Nasional: adalah sangat penting bahwa kebijakan nasional - terutama di negara kaya - diorientasikan untuk menunjang PCD dan pembangunanlingkungan yang berkelanjutan. Ini adalah kepentingan semua bangsa termasuk bangsa kaya.

Kamis, 20 September 2007

Politik Sebagai Industri

Oleh : Edy Burmansyah

“Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil.” ( Immanuel Kant )

Dewasa ini politik tak lagi sebagai sebuah proses yang mengasyikan, kejadian yang bahkan dahsyat, agung dan cerdas. Dalam lakunya politik lebih serupa lakon sebuah pasar. Pasar sebagaimana kita ketahui adalah tempat manusia saling bertukar; ada pembeli, ada penjual. Ruang dimana negoisasi dibangun dalam kalkulasi untung-rugi. Dan mereka yang kemudian kita kenali sebagai aktor politik tak lebih dan tak kurang tampak cuma jadi sebuah produk yang di siap di dagangkan.

Disetiapkali menjelang pemilu, mereka yang kita kenali sebagai politisi itu berlomba-lomba membangun citranya masing-masing, menyusun strategi kampanye yang lebih mirip dengan strategi marketing; melakukan promosi, membangun brand image, berusaha mengugah awarness pemilih yang menurut Popkin rasionalitasnya bersandarkan pada informasi terbatas “low information rationality”, dan memang terkadang hanya bersumber dari tampilan permukaan iklan kampanye politik calon di media yang tampak konyol dan mengelikan.

Dengan iklan mereka tak hanya dapat melakukan perjumpaan dengan mereka yang terlampau banyak itu, namun dengan iklan mereka mampu memanipulasi diri agar tampak baik dan mengagumkan. Dan agaknya sebab itu pula, dalam penampilan mereka di iklan-iklan, para politisi itu tak menjual programnya, tapi bagaimana menampilakan citra yang baik, dalam durasi beberapa menit. Pesan-pesan politiknya dibuat sesingkat mungkin, supaya dapat mempengaruhi kesadaran para pemilih yang mengambil kesimpulan berdasar low information rationality.

Pemilih yang tak tersadarkan itu, kemudian seperti kehilangan kemampuan untuk menseleksi calon dengan benar. Orang tak lagi terusik untuk mengetahui apakah calon A memiliki pengetahuan yang begitu dalam tentang angka kemiskinan dan statistic perbandingan pengangguran tahun lalu dan tahun ini. Orang lebih menyukai apakah calon B pandai bernyanyi lagu dari band Zamrut atau bergoyang patah-patah. Bagi ibu-ibu dan kaum perempuan lainnya perbandingan terletak siapa yang paling ganteng diantara calon A atau calon B.

Lalu kesimpulan disusun; ternyata rakyat tak selamanya terdiri dari individu-individu yang rasional, tapi terkadang irasional, didalam kampanye pemilihan kepala daerah, mereka tampak lebih mirip fan. Pemuja para idola yang bersedia berbuat apa saja—terkadang sekedar ingin mendapatkan tanda tangannya—mereka tidak rasional. Politik hari ini adalah pemujaan pada idola, saya suka colan A karena dia ganteng, modis dan rapi. Barangkali sebab itu, para calon kemudian berlomba-lomba mencitrakan diri seperti keinginan pemujanya. Calon tak lagi dipilih karena mereka cerdas atau berbudi luhur, tapi karena mereka mengoda. Rakyat, dalam menentukan pilihan politik mereka, hanya menyenangi ucapan-capan yang bergelora dari mereka yang tampak memikat. Kampanye bukan lagi perlombaan antar program kerja, yang berlangsung adalah sebuah lomba penampilan pribadi.

Politik kemudian tampak lebih mirip sinetron. Semua berebut memerankan karakter protagonis—karakter yang lemah, tak berdaya dan selalu dianiaya—karena akan banyak mendapatkan simpatik penonton. Lihatlah bagaimana kisah SBY yang naik tahta setelah diberitakan diniaya. Tak dilibatkan dalam rapat, disebut jenderal anak-anak. Pada pemilihan presiden itu, ia mendapat simpati, dan ia menang. Begitulah politik kita hari ini, siapa yang tampil paling memukau, dialah yang dielu-elukan.

Dan Richard Nixon, mantan presiden Amerika yang mungkin kurang cerdas itu, benar, ketika mengatakan “Politik itu puisi.” Puisi tak mesti melulu ekspresi dari kejujuran, ia bisa juga sebuah upaya yang mengetarkan; sesuatu yang dapat membangkitkan gelora hati. Dengan politik, pernyataan-pernyataan tak usaha cocok 100% dengan fakta—seperti halnya puisi—ia harus bisa mempesona. Politik memang sebuah upaya mengugah, terutama ketika kampanye ramai dan politikus datang dan pergi seperti tukang obat keliling, lalu masyarakat yang punya hak suara diajak untuk membel” apa saja yang ditawarkan, termasuk yang menjengkelkan sekalipun.

Tapi agaknya disinilah persoalanya; kita telah menjadi konsumen, dan politik tak ubanya sebuah industri. Ya… industri telah melahirkan anaknya; budaya pop, dan kita tak mampu mengelak. Kesadaran kita dibangun oleh media yang mendorong kita bersemangat konsumerisme, sehingga membeli komoditas yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Dan politik lebih sering berupa sebagian hidup sehari-hari yang remeh-temeh, mungkin juga norak.

Politik tak lagi mengenal teori demokrasi klasik tentang volonte generale (kehendak umum), sebuah keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Politik tak lagi menyediakan ruang bersama. Sebuah ruang yang disebut Juergen Habermas sebagai ruang publik politis, ruang dimana kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan “kesiapaannya” di hadapan suatu “kamu” sehingga suatu tindakan bersama suatu “kita” menjadi mungkin, katakan Hannah Arendt.

Politik yang menjadi industri adalah politik yang tak mengenal konsep “Kita”. Kita—mengutif Chairil Anwar dalam salah satu puisinya—kesendirian masing-masing. Aku adalah konsumen dan mereka tak lain adalah produk, sekaligus produsen yang mempengaruhi kesadaran “aku”. Dalam relasi semacam ini politik akhirnya adalah sebuah tawar menawar yang mengesalkan—sebuah proses yang bisa di gerakan oleh manipulasi, tanpa rasa malu, bosan ataupun geli. Bila kemudian ada yang merasa ditipu, harap maklum, sebab, inilah konsekuensi dari politik yang telah menjadi industri.

Industri sabagaimana diyakini kaum kiri adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kapitalisme, ia dalam kata-kata Prancis yang sangat terkenal itu; “ I’exploitation de l’homme par’lhomme “ (pengisapan manusia oleh manusia). Atau memang karena politik kekuasan selalu akrab dan bersahabat dengan mereka yang suka menjual rohnya pada setan, juga keserakahan, hingga acapkali suka mengutif kata-kata Giambattista Vico dari Abad ke-18 Italia: Justru dari kebengsian, kebakhilan, dan ambisi manusia, telah lahir banyak hal yang baik di dunia.***