Jumat, 09 November 2007

Meneguhkan Kembali Pancasila







Oleh: Edy Burmansyah*)



Jikalau manusia itu pada dasarnya, mahkluk yang egois, keji, dan begis—homo homini lupus—bagaimanakehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu menjadi mungkin? Barangkali karena kepentingan diri sendiri memangmesti dijaga dari berbagai kemungkinan ancaman sikap buas dan rakus, yang lain, yang selalu ingin merebut kedamaiankehidupan.Tapi kedamaian bukanlah sesuatu yang bisa diadakan begitu saja, ia lahir dari orang-orang yang bersedia menyusunkesepakatan untuk mengikat diri dalam sebuah harmoni. Tapi menghadirkan harmoni dalam kontrak social tanpa pedanghanya kesia-sia belaka, sebab, kontrak social secaram itu begitu rapuh dan gampang dikhianati. Dan seperti kataThomas Hobbes; sebab itu kita butuh negara yang memonopoli kekerasan, seperti Leviathan; moster raksasa purbamenakutan yang hidup dilautan.Tapi sejarah Indonesia bukanlah sejarah yang disusun karena kebutuhan akan Levianthan, ia adalah sejarah melawanLevianthan itu, melawan kolonialisme, melawan ketertindasan, dan pemiskinan, melawan kesewenang-wenang bangsalain, yang mecah-mecah bangsa ini menjadi kelompok-kelompok kecil yang berfikiran sempit, sebuah cara berfikirchauvinisme, menganggap kaumnya lebih baik dari kaum lain dan berusaha memisahkan dirinya dari orang laindidekatnya, semua pertalian dengan orang lain cenderung dianggap bikinan. Dengan kata lain ia menolak kebersamaan.Sebuah nation state adalah sebuah kebersamaan yang anggit, dan yang anggit inilah yang coba diretas bung karno,pada pidatonya dihadapan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, yang terdiri dari banyak tokoh republic dari beragampaham dan aliran, 1 Juni 1945; ”…….kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kitabersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu ”Weltanschauung” yang kitasemua setuju ”. Bung karno menyebut “kita bersama-sama”, ia tak hanya mengandaikan merekayang hadir dalam pertemuan itu, namun juga mereka yang jauh dari jangkauannya kala itu, mereka yang hidup berhimpit-himpit pada bedeng-bedeng di gang-gang sempit, di dusun-dusun miskin diseluruh pelosok negeri, dari yang hidup darizaman Sriwijaya dan Majapahit sampai yang post modern.Bung Karno sesungguhnya sedang mengajak semua yang berbeda, kaum Marhen yang menderita Diare, busung lapardan malaria, kaum priyayi dan orang kaya yang mengelimang kemewahan, merumuskan suatudasar—philosophische grondslag—bagi persatuan Indonesia. Dan dalam arti lain philosophische grondslagtersebut bukan sekedar dasar bagi berdirinya nation state yang disebut Indonesia, tapi juga sebagai perekat bagiberbagai perbedaan yang hidup dalam faham dan isme-ismenya masing-masing di alam Indonesia. Perekat itu,Pancasila.Tapi agaknya Pancasila dewasa ini adalah Weltanschauung yang seakan kehilangan daya sihirnya, ia tidak lagi memikatbagi sebagai orang. Dalam dunia yang sudah menggelobal, orang tak lagi tertarik berbicaraan pancasila ataukebangsaan (nation state). Toh…pada akhirnya nasib sebuah bangsa tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, namunoleh sebuah sistem yang begitu masif, bergerak dari satu komputer ke komputer setiap detiknya yang dikendalikan kaumakomulator modal di lantai bursa New York Exchange, nun jauh disana. Sebuah bangsa yang merdeka ternyatamemang tak selamanya berdaulat.Dan kedaulatan tak juga tak dapat kita tunjukan kalau kita melihat peta dunia. Kita memang bisa memperlihatkan dimana”kesatuan-kesatuan” kepulauan Indonesia kepada seorang anak kecil sekalipun. Peta itu terangbenderang menunjukan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pasifik dan lautanHindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Dan seorang anak kecil akan mengatakan, bahwapulau-pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan pulau kecil lain diantaranya, adalah Indonesia, sebuahnation state yang benderanya dikibarkan dengan tubuh tegap dan dada berdebar, dalam prosesnya sampai ke hari iniakhirnya cumalah sebuah wilayah adminstrasi belaka. Didalam Indonesia merdeka tak gampang kita memerdekanrakyat kita.Didalam Indonesia merdeka, tak semua punya kita, asing seringkali ternyata lebih berkuasa. Air Bersih yang merupakanhak dasar hidup manusia dikelola oleh mereka menyebut dirinya Multi Nasional Corporation, Tambang Batu GranitGerbang Informasi Kota Batamhttp://batampos.co.id/Dibuat dengan Joomla!Dihasilkan pada: 18 October, 2007, 12:36Page 2dimonopoli orang-orang Singapura, Minyak dan Gas Bumi di dominasi Exxon Mobile Amerika. Dan kita kemudiantersadar bahwa Bangsa ini sudah tergadai. Lalu apa yang tersisa? Barangkali sejarah yang membentuknya. Sebuahnation state adalah sebuah komunitas yang digagas bersama yang dianggankan dalam sebuah proyek kemajuanmenuju sociale rechtvaardigheid—keadilan social—demi terciptanya dunia baru yang lebih baik.Dunia baru bukan berarti meniadakan sama sekali yang lama, ia adalah negasi (dalam pengertian kesejahteraan), iatidak bisa merubah bentuk negara ini menjadi federalisme, seperti yang cita-cita seorang teman, saat menghadiri acaradialog kebangsaan, pada suatu malam, beberapa hari lalu di restaurant Ikan Daun, Batam Center. Teman itu, yangkepalanya plontos, dengan jaket cokelat tebal, dengan memaikan kunci mobil dengan antara jemarinya dengankeyakinan yang kurang berkata; “satu-satu jalan menuju kebaikan bangsa ini adalah dengan jalan federalisme.Entah adakah ketika ia melemparkan gagasan yang sesungguhnya verouderd, sudah tua, ia pernah membaca sejarahburuk federalisme di Yugoslavia yang multicultural hancur berkeping-keping. Atau memang agaknya bukan itu alasannya utamanya, teman itu hanya ingin berbeda dari yang lain, menjadi bedaberarti menjadi seksi. dan menarik perhatian banyak orang, sehingga orang-orang yang lumayan ramai bersediamemperhatikannya. Dan memang ia tampak sedikit seksi malam itu, tapi tak cukup menarik perhatian banyak orang,barangkali karena peserta dialog tak lebih cerdas dari dia atau memang bukan orang-orang yang paham betul soalkebangsaan, karena kebangsaan adalah masa lalu, Verouderd, sudah tua. Yang tua, mesti selamanya unik dan romantis, ia kadangkala berbahaya, bahayanya, kata Bung Karno;”…mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham Indonesia uberAlles. Inilah bahayanya! ”, celakanya.. kita seringkali tergoda seperti itu. *** *)



Edy Burmansyah, Direktur Eksekutif Center Study for Public Policy (CSPP)Gerbang Informasi Kota Batam

Tidak ada komentar: