Rabu, 29 Agustus 2007

Govt Told Not to Resume S'pore Sand Exports

Govt Told Not to Resume S'pore Sand Exports

The Jakarta Post

4th May 2007

Representatives of the Riau Islands Maritime Education Foundation and non-governmental organizations urged the government Monday not to reopen sand exports to Singapore after the signing of an extradition treaties between the city state and Indonesia.

"The government should have made a thorough study if it wants to reopen the sand exports. Don't be in a hurry simply because the treaties have just been signed. We don't agree with this," Nada Faza Soraya, chairperson of the Maritime Education Foundation, said Monday. Nada, who is also chairperson of the Batam chapter of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry, made the remarks following widespread discussion that sand exports would be reopened after the signing of the treaties.

Sand exports were banned in February by a Trade Ministry decree issued in January. The decree is subject to reevaluation every six months.

"Reopening sand exports would only cause a loss to Indonesia, mainly in the Riau Islands, ... not only in environmental damages due to the mining activities, but also due to Singapore's reclamation works. "The lane along the Malacca Strait is getting narrower in line with the expansion of Singapore's land. As a result islands in Riau Islands province are threatened with the danger of abrasion without any effort to get rid of it," Nada said.

Similar concerns were aired by Eddy Burmansyah, an NGO activist in Batam who kept watch of sand exports to Singapore. He urged to government not to reopen sand exports, regardless of the compensation offered by Singapore.

"There is no compensation that is parallel with the destruction of the environment in Riau Islands province. Don't use our province as a political commodity," he said.

Riau Islands Governor Ismeth Abdullah said he welcomed the signing of the extradition treaties as part of efforts to help eradicate corruption in Indonesia. Ismeth said he trusted the central government to deal with the sand export issus. A commitment to preserve the environment should become a joint agreement between all parties, he said.

"With regard to granite exports, for example, the provincial administration has made a commitment with exporters to set aside part of the revenue to improve the environment," he said.

Ismeth admitted the banning of sand exports had affected greatly to overseas sales of granite. Many granite exporters had stopped their operations for fear of being arrested, he added.

Pemerintah Jangan Mengemis Pada Singapura Soal DCA

18/07/07 10:56

Pemerintah Jangan Mengemis Pada Singapura Soal DCA


Jakarta (ANTARA News) - Fraksi PPP DPR mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak mengemis kepada Singapura tentang Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) yang mengesankan seakan-akan Indonesia sangat memerlukan kesepakatan tersebut.

"Sudahlah batalkan saja DCA yang mengusik kedaulatan NKRI,"kata ketua Fraksi PPP di DPR, Lukman Hakmin Saefudin, di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, kalau Singapura tetap tidak menghendaki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia (karena DCA gagal disepakati), biarlah dunia internasional yang menilai komitmen negara singa itu dalam memberantas korupsi.

Ia juga menyatakan pemerintah tidak perlu malu membatalkan DCA dengan Singapura kalau perjanjian itu merugikan kepentingan Indonesia. "Jangan terkesan kita mengemis-ngemis," katanya.

Sejak penandatanganan DCA yang menjadi satu paket dengan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, di Bali, 27 April 2007, penentangan keras terjadi di DPR yang menganggap perjanjian tersebut merugikan Indonesia.

DPR menganggap DCA dapat memberi peluang pada Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia, dan hal itu tidak sepadan dengan manfaat Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura.

"Bangsa Indonesia terlalu mahal membayar bila perjanjian ekstradisi harus ditukar dengan DCA," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza.

Pengamat lingkungan Eddy Burmansyah menanggapi masalah yang sama dengan mengatakan bahwa jika Singapura bersikukuh mengadakan latihan perang di area Bravo, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, 15 hari setiap bulan, bukan empat kali dalam setahun, maka Indonesia harus menolak pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura.

"Pemerintah harus konsisten hanya akan menyepakati rencana/pengaturan pelaksanaan DCA empat kali dalam setahun. Kalau mengikuti keinginan Singapura, keamanan umum akan terganggu dan lingkungan di sana bisa hancur," katanya.

Ia meminta pemerintah untuk bersikap tegas, tidak mengalah demi sebuah Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang memang satu paket dengan DCA dan telah ditandatangani di Bali, 27 April 2007.

Zona Bravo, kaya akan biota laut dan terumbu karang yang terancam rusak bila tempat tersebut dijadikan tempat latihan perang dengan menggunakan senjata dan berbagai bahan kimia selama 15 hari setiap bulan, katanya.

"Ikan hidup di terumbu karang, bahkan bertelur di sana. Kalau tidak ada lagi terumbu karang, hewan laut itu mau hidup di mana?" tanya Eddy.

Jika area Bravo dijadikan zona latihan militer dengan frekuensi tinggi, maka ikan-ikan akan lari ke perairan Vietnam, sehingga menyulitkan nelayan Natuna dalam mencari nafkah di laut.

Pemerintah menolak

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan permintaan latihan perang selaa 15 hari setiap bulan di wilayah Bravo, Laut China Selatan, tidak dapat diterima pemerintah Indonesia.

Zona Bravo, satu dari tiga wilayah rencana latihan perang di teritori Indonesia, menjadi perdebatan menuju tahap pelaksanaan DCA yang satu paket dengan Perjanjian Ekstradisi.

Menurut Juwono, Indonesia hanya akan mengizinkan frekuensi latihan empat sampai enam kali dalam setahun agar tidak mengganggu kelestarian lingkungan, kehidupan nelayan dan keamanan umum di Zona Bravo.

Sebaliknya, parlemen Singapura mempertanyakan kelanjutan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura yang ratifikasinya belum tentu mendapat persetujuan parlemen RI.

Dijadwalkan dalam sidang, Senin pekan depan, kelanjutan kerja sama itu dipertanyakan parlemen kepada Menteri Pertahanan Singapura, kata Channelnews Asia yang dikutip di Batam, Jumat lalu. (*)

FTZ Batam Dinilai Merugikan

FTZ Batam Dinilai Merugikan
Selasa, 03 Juli 2007 | 01:46 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2007 yang menjadikan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) dinilai merugikan negara. Sebab, dengan aturan ini, semua barang konsumsi yang masuk ke kawasan ini bisa bebas dari bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah, dan cukai.

Ekonom UI Faisal Basri mengatakan, aturan itu menyebabkan pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang besar sekali dari Batam. "Dimana service charge-nya buat pemerintah. Keputusan itu merugikan," tutur Faisal saat dihubungi Tempo.

Menurut dia, paragdima pemerintah dalam kasus Batam ini salah. Untuk mendorong masuknya investasi dan meningkatkan daya saing bisnis, kata Faisal, bukan dengan membuat kebijakan pembebasan pajak. Sebab, yang dikeluhkan investor bukan pembebasan PPN, melainkan percepatan pembayaran restitusi. "Menaikkan daya saing, seharusnya dengan meningkatkan kualitas produk," ujarnya.

Ekonom Indef Iman Sugema mencurigai latar belakang diterbitkannya Perppu Batam yang terkesan terburu-buru ini. Menurut dia, ini menunjukkan Menteri Koordinasi Perekonomian tidak mampu mengkoordinir kebijakan yang harus diterbitkan segera. "Mengapa dipaksakan Perppu Batam sebelum ada Undang-undang Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) , padahal UU ini sifatnya lebih luas daripada Batam?" kata Iman pada Tempo.

Terpisah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan bahwa UU KEKI belum selesai dibahas. "Jangan dicampuradukan FTZ dengan KEKI dengan FTZ," katanya.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris menambahkan, berbagai insentif untuk Batam itu masih akan dibahas dalam Undang-undang. Perppu No 1/2007 itu hanya sebagai payung hukum pengganti UU No 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Sementara, Menko Perekonomian Boediono menolak berkomentar saat ditanyakan soal Perppu Nomor 1 Tahun 2007 yang menjadikan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas.

ANNE L HANDAYANI/RR ARIYANI/YULIAWATI/ANTON APRIANTO

Sekadarnya Tentang Merdeka

Sekadarnya Tentang Merdeka
Rabu, 22 Agustus 2007
Oleh: Edy Burmansyah*

Di hari-hari ini, ketika republik berusia 62 tahun. Masa lalu yang jauh, memanggil-manggil untuk sejenak mengajak menyusun kembali ingatan dari pengalaman-pengalaman majemuk yang telah lewat ketika republik ini tengah dirancang dalam rapat Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) 1 juni 1945.


Tahun 1945 itu begitu panas dan mencekam. Jepang mengakui kekalahannya dalam perang asia timur raya, sebagian wilayah dari republik yang sedang diupayakan masih dikuasai dengan ketat hingga menjelang penyerahan kekuasaaan kepada pasukan sekutu yang membonceng NICA (tentara kerjaaan Belanda) yang akan segera datang mencekram kembali negeri ini. Di tahun itu pula, saya coba mebayangkan Bung Karno. Ia yang berdiri di depan podium dalam rapat Badan Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan suara bergetar, berulangkali menegaskan; Indonesia harus merdeka, merdeka sekarang, sekarang, sekarang, sekarang juga.


Tapi apa artinya merdeka kala itu, apakah ia hanya semacam pembebasan rakyat Hindia Belanda dari kolonialisme bangsa Jepang, dan lalu segera bersiap lagi menyambut kehadiran pasukan sekutu yang membonceng tentara Nica untuk kembali menduduki negeri ini? Merdeka bukanlah hal demikian. Merdeka, kata Bung Karno, adalah political independence, politieke onafhankelijkheid.


Dalam dimensi politik pernyataan Bung Karno barangkali benar, ketika merdeka dia dimaknai sebagai political independence. Pun ia benar mendasarkan internationalrecht, hukum internasional, bahwa untuk mengakui satu negara yang merdeka, internationalrecht tidak mengadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, cukup ada bumi, rakyat, dan pemerintah yang teguh. Tanpa perlu tahu apakah rakyat di negeri yang tengah disusun itu sudah dapat baca atau tidak, tidak peduli apakah ekonominya hebat atau tidak.


Bung Karno tepat mengemukakan argumen dalam dimensi politik tersebut, tapi merdeka tidak cuma sebatas politik, merdeka punya dimensi yang begitu luas. Sebab itu saat P.T. Soetardjo yang ditanya Bung Karno apakah arti merdeka, maka ia menjawab merdeka adalah kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Merdeka menyangkut apa yang kemudian dirasakan manusia. Seorang warga negara yang kehilang kebebasanya akibat prilaku sewenang-wenang aparatur negara adalah warga negara yang tidak merdeka, dia yang hak-hak ekonominya dirampas oleh negara atau korporasi adalah mereka yang juga tidak merdeka. Merdeka pada akhirnya menjadi kehilangan makna dalam sebuah negara yang berdaulatan. Di dalam sebuah negara yang merdeka tak semua merasa merdeka.


Agaknya sebab itu ada saja yang mengugat; kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. ”Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Bila kehendak semacam itu yang mesti penuhi dahulu, dapatkan kita kini menyebut Bangsa Indonesia. Agak sulit. Sebab merdeka juga menyangkut kehendak bersama segerombolan manusia yang mau bersatu. “le desir d’etre ensemble“, segerombolan manusia yang tidak bisa menunggu, barangkali karena itulah kemerdekaaan harus disegerakan, digesa.


Dan disinilah kemudian perkataan lain Bung Karno tentang kemerdekaan sebagai jembatan emas mendapatkan dimensinya yang lain. Jembatan adalah sebuah laluan, tempat pelintasan siapa saja, tapi bukan mereka, para bapak pendiri republik yang sedang merembuk dan merumuskan konsensus di tahun 1945 itu. Jembatan itu diperuntukan bagi semua yang kemudian akan lahir di abad millennium atau mereka yang akan lahir entah di tahun berapa. Dengan kata lain jembatan emas itu adalah awal, sebuah titik tempat bertolak menuju sesuatu yang jauh, lebih dari 62 tahun lamanya atau barangkali juga lebih dari 100 tahun. Untuk mereka, anak cicit kita yang harus dibebaskan dari belenggu ketidakmandirian, tidak saja kemandiri politik, tapi juga ekonomi, budaya dan lainnya. ”...Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi,” katanya


Dengan demikian, Bung Karno berbicara melampaui masa itu, barangkali hingga kemasa kini, masa dimana globilasai menyeruak kesetiap sudut-sudut sejarah yang muram, dan neokolonialisme maklumatkan sebagai pemenang. Masa yang kita sadari bahwa kita ternyata tak kunjung bisa mandiri, dan asing begitu berkuasa mendikte siap gerak kita dari jarak beribu mil dalam raung ber-AC di gedung New York Stock Exchange atau White House (Gedung Putih) tempat George Bush dan koleganya berkantor sembari berbagi-bagi kekayaan alam republik ini seperti membangi kue tar, penanda perayaan kemenangan besar selepas jarum melewati angka-angka dan detik jatuh tak lagi beraturan. Lalu apa yang kemudian kita kenali sebagai political independence tak benar-benar kita alami, sebaliknya kita didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan.


Dalam pemikiran cosmopolitan yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, yang setiap negara berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Akahkah kita kalah dan merasa sudah tak merdeka. Saya yakin tidak….di tahun 1945 itu Bung Karno sudah memberikan jawabannya. “Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Indonesia dibangun di atas sociale rechtvaardigheid, di atas keadilan sosial, di atas ekonomische democratie, yang tercantum secara jelas dan gamlang pada sila kelima Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Barangkali inilah pedang samurai kita untuk menjawab tantangan masa kini yang selalu mendesak: Pancasila. Pancasila sebagai ideology yang harus terus kita perjuangkan, ideologi sebagaimana mana dikatakan sosiolog Kenneth E Boulding dalam buku The Meaning of The 20th Century, “ Kebenaran yang diakui benar oleh semua orang bukan ideologi yang patut diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh sebagian orang adalah ideologi yang patut diperjuangkan”. ***