Kamis, 25 Oktober 2007

Yang Tertindas, yang Terbuang


Selasa, 10 Oktober 2006

Oleh: Edy Burmansyah*)
Dari mana datangnya orang miskin? Seorang teman memberi jawaban beberapa hari lalu: dari keterasingan dan ketidak berdayaan, dari pelbagai hal yang tidak miliki orang kaya. Suatu malam di awal Juli 1997, Sunarti, gantung diri di umurnya yang belum lagi genap 39 tahun, di dalam rumah kardus yang dibangunnya di kolong jembatan Ampera yang membelah Kota Palembang.
Pedagang asongan itu, mengakhir hidupnya setelah pada siang sebelumnya petugas trantib menangkapnya ketika sedang berjualan di perempatan jalan depan International Plaza —karena dianggap melanggar pemandangan dan menggangu ketertiban. Perempuan setengah baya itu berontak—ia berusaha melawan tangan-tangan kekar petugas, tapi dia tak berdaya. Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk dapat ia patahkan.
Sunarti pasrah ketika barang daganganya di obrak-abrik petugas lalu di lempar ke dalam parit pinggir jalan. Sunarti tak mampu melawan, dia cumalah perempuan yang berdaya dan tak bertenaga. Sunarti menangis. Sunarti frustasi. Sunarti nekat menghadap Tuhan dengan caranya—dia mati gantung diri. Ke esoakan harinya, Koran-koran menulis; Seperti biasa, selepas sholat subuh, selepas mengantar suaminya—yang tak punya kaki akibat penyakit menderita kusta—pergi mengemis di jembatan penyeberangan di dekat International Plaza .
Selepas menyiapkan karung dan tongakat pengukit sampah untuk anak tunggalnya yang baru berumur 8 tahun berangkat mencari sampah sebagai pemulung jalanan. Dengan kotak rokok kecil yang di gantung didada Sunarti bersiap berdagang di perempatan jalan depan plaza itu. Sebuah rutinitas yang biasa, tiada ada gejolak, tiada ada yang aneh, tidak ada pesan, semua berjalan normal.
Tapi siapa bisa menduga bahwa hari itu sebenarnya hari terakhir buat Sunarti menikmati penderitaanya di dunia sebagai manusia yang tersisih dan terbuang. Waktu belum menunjukan pukul 12.00 siang, saat tiba-tiba satu regu petugas trantib berhamburan keluar dari truk mengejar para pedangan asongan di perempatan itu, yang tunggang langang menyelematkan diri. Sunarti ada diantara mereka, ia berlari kencang, berusaha menlepaskan diri kejaran para petugas, tapi sial para petugas trantib itu terlalu cepat dan tak terlalu gampang untuk dapat dihindari Sunarti, dan kemudian…sepatu laras petugas itu menghantam punggung Sunarti, perempuan itu tersungkur, kotak daganganya terlepas, dan petugas menghamburkan semua isinya. Sunarti menangis.
Dari sisi yang lain—diatas jembatan penyeberangan, dengan mata yang berlinang air mata Sunarti melihat dengan jelas, Amran—suaminya yang tak mampu berjalan, diangkut petugas trantib menuju ke dalam truk. Uang recehan dari hasilnya mengemis berjatuhan dari atas jembatan, beberapa anak kecil nekat memungutnya dari tengah jalan, meski resiko ditabrak mobil yang melajuh kencang… Sunarti menguras air matanya, Sunarti frustasi, Sunarti putus asa, ia kecewa. Dan saat malam resah datang, dengan perasaan takut menghadapi kematian, namun tak berani lagi menjadi hidup. Perempuan yang tak pernah mengecap bangkus sekolah itu mengikatkan seutas kain sarung di tempat tidurnya—Sunarti gantung diri. Sunarti mati, tapi tak berarti persoalan selesai sampai disitu.
Jenazahnya tak dapat segera di kubur, pihak pemakam menolak, perempuan itu tak mempunyai surat keterangan dari RT/RW atau Lurah setempat, dia tak terdaftar sebagai warga, maka selama dua hari itu jenazah Sunarti mengantung—tak di bumi, tak juga di alam lain. Tapi beruntung (kalau ini ingin disebut untung) Lurah 7 ulu—kelurahan dimana Sunarti tinggal—datang dan memberi surat keterangan. Namun sekali lagi ini belum cukup, Amran—suami sunarti yang hanya mengecap bangkus SD sampai kelas empat, tak memiliki biaya untuk mengurus biaya pemakaman, beruntung (ini memang untung) ada salah seorang wartawan yang sedang meliput tentang kematian Sunarti, bersedia menangung seluruh biaya pemakaman. Sunarti dimakamkan tapi dalam liang lahat itu Sunarti menyesali hidupnya yang lalu. Kalau Sunarti mempercayai adanya renkarnasi, mungkin ia tak akan pernah bersedia kembali ke negeri ini.
Di sini, di republik ini, Sunarti bukan saja terabaikan, namun juga terasing. Ia tak mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk), ia tak tercatat sebagai warga negara, ia warga negara illegal di negeri tempat ia lahir, besar, dan hingga akhirnya lehernya terjerat dan nyawa melesat, sebab Sunarti tak punya KTP karena Sunarti tak punya biaya untuk membuat KTP. Bagi orang semacam Sunarti KTP adalah barang mahal, dan KTP tak pernah ada yang gratis, meski dalam banyak kampanye menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) parta-partai dan aktor-aktor politik berjanji akan menyediakan KTP gratis bila partainya menang dan ia terpilih menjadi pemimpin.
Tapi di republik ini selalu ada cara bagaimana memperdaya orang banyak: Bohong. Barangkali sebab itu juga selama kemiskinan menyelimuti hidupnya, Sunarti tak pernah menerima dana Jaring Pengaman Sosial (JPS)—program yang dibuat pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Tapi berapa banyak orang seperti ini—yang tak punya KTP dan tak dianggap sebagai tanggung jawab negara karena mereka tak tercatat sebagai warga negara. Juga sekarang ini, ketika banyak orang miskin tak terdaftar sebagai penerima dana batuan langsung (BLT) kompensasi BBM, hanya gara-gara tak punya KTP. KTP, ia semacam bentuk indentitas, namun bagi orang kecil agaknya KTP sering menjadi sebuah masalah besar. Tak gampang bagi orang kecil itu untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara – sebuah indentitas.
Mereka acapkali tak mampu mengatakan “Saya orang Indonesia , saya orang miskin, saya anak terlantar, di tanggung oleh negara”. Tapi negara mana yang dapat mereka klaim ketika mereka sendiri tak bisa membukti bahwa mereka adalah warga dari sebuah negara, walaupun mereka sebenarnya terlahir dan besar di sebuah wilayah yang tersambung dari Sabang sampai Marauke, sebuah tanah yang disebut Indonesia . Tapi tidak. Indonesia tidak pernah dirancang untuk mengasingkan darah yang mengalir di dalam tubuh setiap orang lahir diatasnya. Indonesia bukan yang eksklusif. Indonesia adalah cita-cita bersama, dari rangkaian tiap manusia yang berada didalamnya. “Tapi Indonesia tak pernah mengakui kami, Indonesia terlalu angkuh, terlalu sombong untuk mengatakan bahwa orang yang hidupnya melarat itu adalah warga negara saya. ” kata Sunarti suatu kali dalam hidupnya.
Bagi orang semacam Sunarti, pada akhirnya indentitas memang menjadi barang mewah. Di Indonesia tak semua orang bisa menyebut diri warga negara. Indonesia tak membuat orang bangga. Indonesia cuma milik orang ber-uang. Dan sebab itu ada saja yang ingin bubar dari Indonesia, tapi Indonesia selalu datang mengetuk. Kita tak bisa bersembunyi darinya, meskipun terkadang tertindas dan terbuang. ***
*)Edy Burmansyah, Direktur Executive Center Study for Public Policy (CSPP).

Rekonstruksi Anarkisme Menuju Negara Ideal


Oleh: Edy Burmansyah*)


Tak dapat dipungkiri dewasa ini, masih ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa anarkisme sama dengan merusak. Pandangan semacam ini perlu diluruskan, anarkisme bukanlah hal semacam itu, anarkisme adalah harmoni. Bahwa kondisi asali manusia (The state of nature) dalam keadaan damai dan saling menghormati, bukan seperti kondisi the state of nature Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bengis, dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Sebab itu kodisi asalinya adalah perang. Dalam tradisi filsafat modern, anarkisme digolongkan dalam aliran Korservatisme. Anarkisme berkembang dalam masa paska revolusi Prancis. Dengan tokoh-tokohnya Cabanis (1757-1808), De Biran (1766-1824), Fourier (1772-1837), Saint-Simon (1760-1825), dan Proudhon (1809-1865). Paskah revolusi, kehidupan Prancis dilalui dengan terror dan darah yang berceceran, tapi sebuah cita-cita lama dicapai disana, yakni; penegaskan akan kebebasan manusia. Namun demikian revolusi Prancis juga menimbulkan kekhawatiran serius terhadap integritas sosial dan dasar-dasar religius bagi moralitas manusia. Berangkat dari ancaman ini maka sekelompok intlektual yang mendukung revolusi yang dikenal dengan "kaum sosialis" memandang bahwa revolusi sudah sukses menghasilkan kebebasan (liberte), namun persamaan (egalite) dan persaudaraan (fratenite) harus diwujudkan melalui re-organisasi sosial. Menurut Fourier kebudayaan borjuis-sebagai kebudayaan hasil revolusi-cacat kemanusiaan, karena di dalamnya berkuasa egoisme dan kepentingan diri yang akan menghancurkan masyarakat. Masyarakat borjuis diciptakan dari refresi dan nafsu, sehingga melenyapkan dua nafsu penting untuk kohesi sosial: cinta dan kekeluargaan. Akibatnya harmonis masyarakat terancam runtuh. Fourier menghendaki sebuah tatanan masyarakat yang baru, sebuah masyarakat harmoni (anarkis). Fourier mencontoh organisasi masyarakat yang disebut "Phalanx"-sekelompok orang beranggota 1.500-2.000 orang dengan berbagai kemampuan. Dalam kelompok ini setiap individu bebas memilih pekerjaan yang disukainya atau meninggalkan yang disukainya. Didalamnya ada kompetisi, tapi harmoni tetap dominant, sehingga tak akan ada perang. Anarkisme sebagaimana di cita-citakan oleh pemikiranya pada masa lalu akhirnya hanyalah sebuah utopia. Ia tak bisa diadopsi kafah karena setiap pemikiran hidup dengan semangat zamannya sendiri (zeit geist), dan ada bagian yang sudah tidak relevan lagi dalam kontek kekinian. Sebab itu yang dibutuhkan hari ini adalah bagaimana mengkontruksi pemikiran anarkisme agar sesuai dengan kebutuhan hari ini? Untuk merekontruksi anarkisme, maka Anarkisme harus diletakan pada pengertiaan awal; anarkisme sebagai harmoni, bukan semata-mata menolak negara. Lalu pertanyaannya dapatkan harmoni hidup berdampingan dengan negara? Jawabanya, mungkin ya. Tapi negara seperti apa yang dapat hidup berdampingan dengan harmoni? Negara yang ideal, negara yang mengayomi masyarakatnya, yang tidak banyak campur dalam kehidupan masyarakatnya, negara yang tidak menindas, yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan yang kepentingan privat. Barangkali sebuah negara yang minimal (minimal state), tapi bukan dalam pengertian John Locke. Negara yang minimal adalah negara yang tetap mengelola aset-aset public, sebagai hak dasar hidup manusia, seperti; air, listrik dan kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi. Tapi negara yang juga memberikan kebebasan berusaha kepada setiap warganya tanpa perlu membebankan pajak. Pembiayaan negara hanya diperoleh dari penghasilan pengelolaan asset-aset publik. Kendati demikian negara, tetap bertugas memberikan tunjangan bagi penduduk yang tidak mampu bekerja, karena "sama halnya, terkutuklah orang yang tidak perduli pada orang yang lemah, demikian pula penguasa negara yang membiarkan orang miskin menghadapi keadaan yang tidak menentu. Namun demikian dimana sebenarnya tanggung jawab negara untuk memberikan tunjangan kepada masya rakat, sementara masyarakat tidak dibebani pajak oleh negara. Yang patut di catat adalah pendapatan negara dari pengelolaan aset-aset publik pada dasarnya adalah pendapatan rakyat, sebab itu negara berkewajiban untuk membangikannya kepada sebagian kecil masyarakat yang kurang mampu itu. Negara semacam ini adalah negara pengatur (regulative state). Negara memang tetap memiliki apartus untuk menjalankan roda pemerintahan, ia masih punya polisi untuk menjaga tertib sipil, ia masih punya jaksa untuk melakukan penuntutan kejahatan, juga pengadilan yang memutuskan kejahatan. Tapi negara tidak punya dirjen pajak, tidak punya menteri bidang ekonomi, tidak punya pemerintahan dengan kabinet yang gemuk dan susah bergerak. Sebuah negara yang menekankan keutamaan sipil dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme sipil. Negara dalam hal ini hanya berfungsi mengatur interaksi antar individu. Tindakan negara dilihat sebagai tindakan tidak langsung dan hanya bersifat mengatur. Di sinilah letaknya pemikiran anarkisme baru, anarkisme bukanlah paham yang menolak negara, ia tetap dapat berdampingan hidup harmonis dengan negara. Anarkisme baru adalah anarkisme yang menolak segala bentuk penindasan. Penindasan oleh siapa saja, oleh kelompok masyarakat, oleh individu, bahkan entitas yang lebih besar seperti negara, maupun system ekonomi neo-liberalisme yang menguasai dunia sekarang ini. Neo-anarkisme dan Cita-cita Baru Anarkisme baru adalah anarkisme yang menolak segala bentuk penindasan dan klaim kebenaran oleh sekelompok orang yang dijustifikasi untuk membenarkan tindakan kekerasan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masya rakat yang lain. Anarkisme menolak segala bentuk kekerasan dan klaim kebenaran, sebab tak seorangpun bisa memonopoli kebenaran, karena orang yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda pula, karena itu diperlukan institusi yang memungkinkan mereka untuk bisa hidup bersama secara damai. Konsep neo-anarkisme adalah menciptakan masyarakat yang terbuka, yang menjanjikan perbaikan dan reformasi. Ketidak-sempurnaan dapat diperbaiki asalkan disadari dan diakui. Karena itu kebebasan berpendapat dan perbedaan berpendapat harus diberi peluang untuk melakukan koreksi, karena koreksi akan memberikan peluang kepada perbaikan. Konsepsi ini berangkat dari bahwa kesempurnaan itu berada di luar jangkauan kita; desain apapun yang kita pilih untuk tata masyarakat kita cenderung mempunyai cacat dan kekurangan, karenanya kita harus puas dengan terbaik kedua saj yaitu; organisasi social yang kurang sempurna tertapi terbuka untuk perbaikan. Anarkisme baru tidaklah meluluh mencita-cita model ekonomi barter, seperti yang dianggankan Fourier, anarkisme baru perlu mengakui model ekonomi saat ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun demikian anarkisme baru tidak berarti tenggelam dalam model ekonomi sekarang yang cenderung menindas, anarkisme harus melalukan perbaikan terhadap ekonomi sekarang atau lebih manusiawi dan tidak menindas. D isisi lain juga Anarkisme tidak perlu memaksakan model ekonomi barter Fourier, sebab kaum anarkis sesunguhnya sulit keluar jebakan system yang ada sekarang. Contoh kaum anakisme ternyata masih merokok Sampoerna yang sahamnya dikuasai oleh Philip Moris, menggunakan Celana Jean merek Lea, naik motor Honda, TV merek Toshiba, HP Nokia dan sebagainya. Satu-satu yang dapat dilakukan adalah mengakui system ekonomi yang ada, sembari mengurangi ketergantungan pada produk-produk luar dan mulai menggunakan produksi dalam negeri dan secara bertahap memproduksi produk sendiri. Pada bagian lain kaum anarkisme baru, harus memformulasi ulang strategi perjuangan. Dari strategi ekstra parlementer, againt culture, menuju perjuangan advokasi legislasi, melalui inisiasi pembuatan peraturan perundangan-undangan. Hanya dengan cara semacam ini negara dapat diminimalisir perananan seperti yang dikehendaki oleh kaum anarkisme. Aksi jalanan akan memunculkan gesekan dengan apartus pemerintah yang meminjam kata-kata Berkman "sumber dari kekerasan, pembatasan dan koersi". Cuma rekontruksi pemikiran maka anarksime tak lagi sekedar utopia, sehingga dapat hadir dan menjadi system makna dan nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat.***


*)Edy Burmansyah, koluminis, tinggal di Batam

Memahami Agama yang Mencerahkan


Batam, Jumat, 30 Juni 2006
Oleh: Edy Burmansyah*

Saya menonton VCD “wajah-wajah Islam Indonesia”—sebuah dokumentasi Metro TV. Saya juga baru saja usai membaca buku Ulil Abshar Abdalla Menjadi Muslim Liberal. Dan penulis mengutip ini; “Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan”.


Sebagaimana Ulil, saya pun memahami Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”, agama yang membawa rahmat bagi seluruh semesta alam dan umat manusia; dan karena manusia bukanlah sebuah makhluk yang berdiam diri, tetapi organisasi yang bergerak dan berkembang, maka agama juga akan terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia. Dan Islam adalah agama semacam ini, agama yang hidup dalam setiap detak zaman—dengan zeit geist.


Tapi soalnya kemudian; ternyata kita terlalu lama larut dalam pemikiran yang dijaga ketat kaum ortodoksi, yang menekan kita untuk diam diri dan hanya menerima pengajaran dari mereka. Sebuah pola pengajaran yang mirip komando militer, yang tidak membuka ruang dialektika antara umat dan ulama untuk mengali dan menafsir Al-Quran dan Hadits secara kritis dan mendalam. Ia yang sering disebut Antonio Gramsci sebagai Hegemoni. Pemikir Partai Komunis Italia tersebut menulis: ada yang tak kelihatan dan telah digunakan secara halus oleh kekuasaan untuk menindas: aparat Ideologi. Mereka menjerat pikiran orang sehingga tidak mau melawan. Penuliskira dari jerat seperti ini juga, orang semacam Jabir kemudian hadir dan menebar teror kehadapan kita.


Gempur Budi Angkoro alias Jabir — umurnya 27 tahun, ia pernah belajar di pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah selama beberapa tahun, hingga akhirnya pindah dan meyelesaikan pendidikanya di Pesantren Darusysyahadah, Boyolali, kemudian mendedikasikan ilmunya disana selama tiga tahun lamanya. Sampai pada suatu hari di tahun 2002 ia berkenalan dengan Nurdin M Top dan Dr. Azhari. Dari azhari, Jabir belajar bagaimana merakit bom. Dari Nurdin M Top dia menyakini ; ”Bukankah sejak terampasnya tanah dan kehormatan kaum mus-limin baik di bumi Palestina, Afganistan, Kashmir, Chechnya, dan Bosnia telah menjadikan jihad sebagai fardhu ’ain,” Sebab itu bagi Jabir meledakan bom di hotel Marriot dan café Nyoman tahun lalu sebagai sebuah ibadah.


Jabir barangkali adalah seorang idealis yang percaya betul bahwa perintah gurunya adalah perintah Tuhan. Tapi bagaimana Tuhan dapat sekejam itu—memeritahkan umatnya untuk membunuh mahkluk ciptaannya sendiri, sementara Tuhan dalam salah satu firmanya berseru. “Barang siapa menyelamatkan nyawa satu orang, maka ia seolah telah menyelamatkan nyawa semua orang.” (quran, 5:32).
Ketika firman dilanggar, Jabir kemudian berdoa—selepas meledakan bom hasil racikanya di café Nyoman Bali atau hotel Marriot yang menewaskan puluhan orang—juga ada umat muslim diantaranya, yang meradang saat nyawa lepas dari tubuh, seakan sedang mengutuk kebrutalan yang ditebar orang semacam Jabir yang menggap; ”Dengan peledakan, pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama....”


Saya tak tahu, adakah Tuhan membenarkan membunuh terhadap orang lain—seiman atau tidak seiman, sebagai dampak atau tujuan. Penulistak pernah tahu adakah Tuhan membenarkan umatnya bunuh diri—walaupun itu ”demi Tuhan” yang dia bela. Yang satu tahu Tuhan tak satu kalipun memerintahkan umatnya membunuh atas nama apa-pun—juga dirinya. Tuhan tak pernah membutuhkan pengorbanan umatnya untuk membelanya dirinya. Tuhan tidak butuh itu. Tuhan ada pemilik semesta alam, Tuhan lebih besar, lebih agung dari apapun. Tuhan bisa berkehendak, bahkan berbuat apasaja terhadap umat manusia dan alam semesta. Tuhan dapat menciptakan sekaligus menghancurkan sesuatu sekehendaknya dalam hitungan kurang dari dari satu detik.


Sungguh Jabir bukanlah orang yang cukup mengenal Tuhan, bahkan mungkin juga ia tak punya banyak keteguhan hati untuk terus bersama Nurdin M Top dan Azhari. Seperti juga korba-korban hasil bom racikannya Jabir juga takut akan menghadapi kematian; ”Se-sungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa….” Di sebuah pagi yang tak begitu cerah pada 29 April lalu, sebuah pelor dari moncong senapang pasukan Detasemen 88 Polri menembus tubuhnya dalam sebuah pengerbekan, Jabir masih berharap kepada tuhan yang disebut setiap hari; “Ya Robbi..., masukkan hamba-Mu ini... ke dalam jannah abadi... bersanding dengan para bidadari....”. saya tak tahu bagaimana Tuhan dapat mengabulkan permintaaannya. Penulisjuga tak tahu adakah Jabir di jannah sekarang.


Jannah—surga, ia seakan menjadi akhir dari segalanya—Janah adalah tujuan, bahkan mungkin bagi orang seperti Jabir, juga Michel O’Conner—Jannah barangkali lebih besar dari Tuhan itu sendiri. Goenawan Muhamad dalam buku catatan pinggir 3—mengutif kisahnya dari kantor berita Reuter. O’Conner, pemuda 20 tahun yang tinggal di dekat Sedney, pada 31 Mei 1986 itu, baru saja memeluk agama Kristen. Dan dengan perasaan cemas namun berani, ia memotong tangannya yang bertato dengan gergaji listrik, sembari mengutif injil; “Jika tanganmu menistakanmu, potonglah”.


Bila setiap kali firman Tuhan diartikan secara harfia seperti itu, maka akan selalu ada tangan yang terpenggal setiap menitnya atau akan banyak kepala yang berpisah dari tubuh setiap detiknya. Dan penulisyakin tuhan yang kita sapa dengan agung berpuluh-puluh kali setiap hari tidak pernah punya bermaksud seperti itu. Tapi kita akan selalu menemukan orang seperti Jabir dan Michel O’Conner diabad 20 ini. Orang-orang baik yang ingin duduk di pangkuan Tuhan namun tersesat jalan.


Sebab itulah saat firman Tuhan ditafsirkan kita selalu membutuhkan metafora—dalam arti lain, firman Tuhan harus dilihat secara kontekstual. Juga bagi umat Islam. Kita memerlukan penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah, sebab Islam hidup dengan zeit geist.


Dan umat Islam—sekali lagi saya harus mengutif Ulil; ”Entitas sosial yang menyebut dirinya umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Dan umat Islam harus mengembangkan pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran”


Islam seperti dikemukan oleh Prof. Nur Cholis Majid adalah nilai generik yang bisa ada di agama lain, bahkan mungkin pada paham yang dikembangkan Karl Marx atau Adam Smith. Atau juga barangkali—untuk terakhirkalinya izinkan penulismengutif Ulil; Islam memang bukan sebuah monumen mati yang dipahat dari abad 7 masehi, lalu dianggap sebagai patung indah yang tak boleh di sentuh tangan sejarah, atau malah Islam sesungguhnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai menuju sebuah kebenaran. Islam adalah sumber peradaban, bukan penyebar ketakutan.***


*)Edy Burmansyah, Umat Islam aktif pada Lembaga Kajian informasi dan Kebijakan Publik (LKi&KP).