Sekadarnya Tentang Merdeka
Rabu, 22 Agustus 2007
Oleh: Edy Burmansyah*
Di hari-hari ini, ketika republik berusia 62 tahun. Masa lalu yang jauh, memanggil-manggil untuk sejenak mengajak menyusun kembali ingatan dari pengalaman-pengalaman majemuk yang telah lewat ketika republik ini tengah dirancang dalam rapat Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) 1 juni 1945.
Tahun 1945 itu begitu panas dan mencekam. Jepang mengakui kekalahannya dalam perang asia timur raya, sebagian wilayah dari republik yang sedang diupayakan masih dikuasai dengan ketat hingga menjelang penyerahan kekuasaaan kepada pasukan sekutu yang membonceng NICA (tentara kerjaaan Belanda) yang akan segera datang mencekram kembali negeri ini. Di tahun itu pula, saya coba mebayangkan Bung Karno. Ia yang berdiri di depan podium dalam rapat Badan Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan suara bergetar, berulangkali menegaskan; Indonesia harus merdeka, merdeka sekarang, sekarang, sekarang, sekarang juga.
Tapi apa artinya merdeka kala itu, apakah ia hanya semacam pembebasan rakyat Hindia Belanda dari kolonialisme bangsa Jepang, dan lalu segera bersiap lagi menyambut kehadiran pasukan sekutu yang membonceng tentara Nica untuk kembali menduduki negeri ini? Merdeka bukanlah hal demikian. Merdeka, kata Bung Karno, adalah political independence, politieke onafhankelijkheid.
Dalam dimensi politik pernyataan Bung Karno barangkali benar, ketika merdeka dia dimaknai sebagai political independence. Pun ia benar mendasarkan internationalrecht, hukum internasional, bahwa untuk mengakui satu negara yang merdeka, internationalrecht tidak mengadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, cukup ada bumi, rakyat, dan pemerintah yang teguh. Tanpa perlu tahu apakah rakyat di negeri yang tengah disusun itu sudah dapat baca atau tidak, tidak peduli apakah ekonominya hebat atau tidak.
Bung Karno tepat mengemukakan argumen dalam dimensi politik tersebut, tapi merdeka tidak cuma sebatas politik, merdeka punya dimensi yang begitu luas. Sebab itu saat P.T. Soetardjo yang ditanya Bung Karno apakah arti merdeka, maka ia menjawab merdeka adalah kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Merdeka menyangkut apa yang kemudian dirasakan manusia. Seorang warga negara yang kehilang kebebasanya akibat prilaku sewenang-wenang aparatur negara adalah warga negara yang tidak merdeka, dia yang hak-hak ekonominya dirampas oleh negara atau korporasi adalah mereka yang juga tidak merdeka. Merdeka pada akhirnya menjadi kehilangan makna dalam sebuah negara yang berdaulatan. Di dalam sebuah negara yang merdeka tak semua merasa merdeka.
Agaknya sebab itu ada saja yang mengugat; kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. ”Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Bila kehendak semacam itu yang mesti penuhi dahulu, dapatkan kita kini menyebut Bangsa Indonesia. Agak sulit. Sebab merdeka juga menyangkut kehendak bersama segerombolan manusia yang mau bersatu. “le desir d’etre ensemble“, segerombolan manusia yang tidak bisa menunggu, barangkali karena itulah kemerdekaaan harus disegerakan, digesa.
Dan disinilah kemudian perkataan lain Bung Karno tentang kemerdekaan sebagai jembatan emas mendapatkan dimensinya yang lain. Jembatan adalah sebuah laluan, tempat pelintasan siapa saja, tapi bukan mereka, para bapak pendiri republik yang sedang merembuk dan merumuskan konsensus di tahun 1945 itu. Jembatan itu diperuntukan bagi semua yang kemudian akan lahir di abad millennium atau mereka yang akan lahir entah di tahun berapa. Dengan kata lain jembatan emas itu adalah awal, sebuah titik tempat bertolak menuju sesuatu yang jauh, lebih dari 62 tahun lamanya atau barangkali juga lebih dari 100 tahun. Untuk mereka, anak cicit kita yang harus dibebaskan dari belenggu ketidakmandirian, tidak saja kemandiri politik, tapi juga ekonomi, budaya dan lainnya. ”...Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi,” katanya
Dengan demikian, Bung Karno berbicara melampaui masa itu, barangkali hingga kemasa kini, masa dimana globilasai menyeruak kesetiap sudut-sudut sejarah yang muram, dan neokolonialisme maklumatkan sebagai pemenang. Masa yang kita sadari bahwa kita ternyata tak kunjung bisa mandiri, dan asing begitu berkuasa mendikte siap gerak kita dari jarak beribu mil dalam raung ber-AC di gedung New York Stock Exchange atau White House (Gedung Putih) tempat George Bush dan koleganya berkantor sembari berbagi-bagi kekayaan alam republik ini seperti membangi kue tar, penanda perayaan kemenangan besar selepas jarum melewati angka-angka dan detik jatuh tak lagi beraturan. Lalu apa yang kemudian kita kenali sebagai political independence tak benar-benar kita alami, sebaliknya kita didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan.
Dalam pemikiran cosmopolitan yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, yang setiap negara berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Akahkah kita kalah dan merasa sudah tak merdeka. Saya yakin tidak….di tahun 1945 itu Bung Karno sudah memberikan jawabannya. “Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Indonesia dibangun di atas sociale rechtvaardigheid, di atas keadilan sosial, di atas ekonomische democratie, yang tercantum secara jelas dan gamlang pada sila kelima Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Barangkali inilah pedang samurai kita untuk menjawab tantangan masa kini yang selalu mendesak: Pancasila. Pancasila sebagai ideology yang harus terus kita perjuangkan, ideologi sebagaimana mana dikatakan sosiolog Kenneth E Boulding dalam buku The Meaning of The 20th Century, “ Kebenaran yang diakui benar oleh semua orang bukan ideologi yang patut diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh sebagian orang adalah ideologi yang patut diperjuangkan”. ***
Rabu, 29 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar